Rabu, 23 Maret 2011

Memanusiakan Manusia


Semarang, 21 Maret 1988

Saya sedang duduk mengantuk dalam perjalanan saya menggunakan bus. Tiba-tiba HP saya bergetar dan muncullah nomor yang tidak dikenal. Saya angkat dan ternyata di seberang sana adalah OB diperusahaan tempat saya bekerja dulu.  Beliau OB sudah cukup berumur, mungkin sekitar 40an. Dia menelepon karena terkejut mengetahui saya sudah resign dan dia merasa belum dipamiti. Saya menjelaskan bahwa saya sudah menitipkan salam dan pemohonan maaf serta ucapan terima kasih melalui rekannya karena waktu itu beliau tidak dapat ditemui. Satu hal yang membuat saya sangat terharu adalah ucapannya bahwa dia bertelepon hanya ingin sekedar mendengar suara saya dan kagen dengan candaan saya. Dia berkata bahwa dia merasa sangat kehilangan salah seorang yang setiap pagi dan sore selalu menyapanya.
Saya hanya tercenung, apasih yang saya lakukan dalam waktu 4 bulan saya bekerja sehingga beliau sampai berusaha bersusah payah menghubungi saya? Saya hanya melakukan apa yang lazim dilakukan orang biasa. Kalau pagi saya menyapa, kalau pulang saya berpamitan, kalau sedang bercanda saya sering berjalan merengkuh pundaknya sebagai teman, mengobrol santai bersama rekan-rekan OB di dalam pantry dan bahkan tak jarang saya minta tolong padanya untuk melakukan sesuatu yang mungkin menjadi tanggung jawabnya.
Saya merasa hal yang saya lakukan itu sangat- sangat- sangat sederhana. Tapi apakah sudah jarang orang yang melakukannya? Sebagai manusia yang tidak berdaya tanpa orang lain, saya selalu berusaha memperkakukan orang lain, siapapun dia, apapun dia, sebagai manusia seutuhnya. Saya hanya menyapa sebentar di pagi dan sore, menggunakan kata tolong untuk meminta bantuan, mengucapkan terima kasih dengan benar-benar menatap matanya, dan juga mengucapkan maaf bila sekiranya akan menganggu dia. Suatu perbuatan  yang mudah dilakukan tetapi mungkin sedikit dilupakan kebanyakan orang dengan segala gengsi akibat kedudukan, jabatan, dan status sosial. Tetapi menurut saya, selama sama-sama berwujud manusia, ya mereka tetap manusia. Maka harus dimanusiakan.
Saya tidak pernah belajar teori mengenai memanusiakan manusia. Namun saya belajar dari perkataan dan perbuatan orang tua saya. Ayah saya, bukan seorang filsuf maupun pemikir, adalah orang lapangan yang bertugas memantau kelancaran pasokan air bersih di kota saya. Dengan dedikasi yang tinggi, beliau selalu mengontrol dan melihat kondisi karyawannya di lapangan yang notabene lokasnya berada jauh dari keramaian bahkan diluar jamkerja sekaliipun . Ada satu nasehat ayah saya yang saya ingat sampai sekarang: kalau kamu mau jadi seorang pemimpin yang baik, selalu perhatikan bahwanmu. Rangkul mereka, maka mereka akan tetap segan dan hormat denganmu, tetapi tidak menjadi takut padamu.
Jadi marilah kita mulai dan kita ingat kembali langkah-langkah kecil yang mungkin bisa membantu kita dalam memanusiakan manusia. 

Dedicated to My ex-collegue Pak Suyani and My beloved daddy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar