Selasa, 22 Februari 2011

Tebar Janji? Hati-hati...


Setelah seharian berkutat dengan semrawutnya lalu lintas, saya akhirnya sampai rumah juga. Dasar sofa saya itu sangat posesif, sekali pantat nemplok, sudah deh berdiri saja sudah susah, apalagi di situ juga ada remote tv kesayangan saya. Langsung saja saya nyalain tv. Acaranya sih kebetulan acara “merasakan jadi orang nggak punya”. Nah, di episode ini, si peserta mengajak sekeluarga itu pergi buat mengkhitankan si anak. Yang bikin jadi geli adalah ucapan si peserta yang bilang, “adik harus kuat ya disunat. kalau habis disunat, nanti jadi lancar baca Al-Quran-nya”. Ini yang menggelitik pemikiran saya, seingat saya dan kalau bener, saya juga pernah mengalami fase yang sama yaitu disunat, tapi sampai saat ini kemampuan saya membaca Al-Quran masih ngek-ngok juga tuh.
Banyak juga dari orang tua yang memberikan iming-iming kalau nanti sudah disunat bakalan bisa jadi tinggi dan suaranya jadi lebih berat. Waktu SD saya mah cuma manggut-manggut aja dan menanamkan dalam pikiran saya kalau gak sunat, nanti gak tinggi dan suaranya tetep melengking. Tapi setelah saya SMP dan belajar tentang hormone, saya jadi tahu, mau gak disunat atau mau diulang-ulang sekalipun, hormone testosteron pada anak laki-laki akan mulai berkembang pada usia puber (remaja) yang membuat suara menjadi lebih berat. Selain itu, dengan asupan gizi yang benar, mau disunat atau enggak, orang juga akan semakin tinggi kok pas masa perkembangan.
Penekanan tulisan ini sih bukan kepada urusan saya menyesal atau tidak menyesal karena saya (merasa pernah) disunat, namun lebih tentang masalah iming-iming kepada seorang anak ketika di diminta untuk melakukan sesuatu. Terkadang memang sebagai orang yang sudah dewasa, kita dengan mudahnya ‘menjanjikan’ imbalan kepada anak kecil agar mereka melakukan hal yang kita mau. Tentu saja sebagai anak yang masih polos,mereka juga “iya-iya bos” aja. Mungkin pikiran kita memang lebih menang daripada anak kecil, tetapi anak kecil pun juga punya perasaan loh. Mereka juga punya memori, bahkan mungkin lebih kuat, untuk mengingat janji apa yang kita berikan pada mereka. Kalau misal masalahnya masih sunat-menyunat tadi, ketika anak tau dengan sendirinya kalau ternyata nggak sunat pun bisa jadi tinggi dan suaranya jadi berat, mereka paling hanya berpikir, “yee… bego banget ya dulu saya, gampang banget dibujuk buat sunat” dan karena mereka tahu bahwa ada keuntungan lebih dari disunat, tentu saja mereka bisa memaklumi kalau itu untuk kebaikan mereka.
Tapi bayangkan jika seorang anak dijanjikan sesuatu karena mereka telah melakukan apa yang kita minta tapi kita tidak bisa memenuhinya. Sekali dua kali masih wajar. Tapi kalau dibiarkan berkali-kali, ya… namanya anak, mereka juga bisa merasakan kecewa. Kalau dibiarkan dalam jangka panjang tentu tidak baik juga untuk anak itu sendiri. “Nanti kalau sudah gajian, papa beliin sepatu deh” atau “nanti ya, kalau mama mampir ke toko, mama beliin mainan deh”. Biasanya sih, sebagai orang tua terkadang banyak yang spontan nyeletuk gitu untuk menyenangkan atau membuat anak mau melakukan apa yang kita mau. Tapi celetukan itu pun jangan dianggap enteng. Jangan dikira anak tidak tahu kapan tanggal gajian orang tuanya, jangan dikira juga anak tidak tahu kapan saat-saat mama-nya belanja ke supermarket. Dari celetukan dan ekspresi orang tua, anak juga bisa tahu loh kalau papanya habis gajian atau mamanya pulang dari mal. Jangka pendeknya sih anak mungkin kecewa atau ngambek karena mereka tidak mendapat apa yang sudah dijanjikan untuk mereka. Ini sih masih mungkin kita atasi. Tapi takutnya kalau dalam jangka panjang, akan menimbulkan ketidakpercayaan anak pada orang tuanya. Ini yang mungkin agak sulit, yaitu mendapatkan kembali kepercayaan anak. Gambaran Paling gampang sih lihat aja film liar-liar yang dibintangi Jim Carrey itu. Pada akhirnya mau sang ayah berjanji apapun, keluarganya tidak percaya lagi.
Kepercayaan anak terhadap orang tua itu penting menurut saya. Dan menurut eyang-eyang peneliti sebelumnya, fase menumbuhkan kepercayaan ini bahkan dimulai dari anak baru lahir hingga 2 tahun. Bayangin aja kalau orang panutan dan lingkungan terdekatnya tidak dia percayai, pasti akan timbul kebingungan dalam diri si anak untuk mencari siapa yang dia percayai. Ya kalau akhirnya yang dia anut itu benar. Kalau enggak? Kasihan anak-anaknya. Saya punya cerita dari beberapa teman saya, anak yang tidak memeiliki kepercayaan atau merasa kurang mendapat perhatian dari orang tuanya sering terjebak dalam kelompok-kelompok berbasis agama yang nggak jelas dan yang selalu morotin duit orang tuanya untuk kelangsungan kelompoknya itu. Bahaya juga kan? Selain itu, di dalam perjalanan hidupnya dimungkinkan akan terjadi kebingungan dalam pencarian value yang harus dianut sang anak. Tentu saja kita tidak ingin itu terjadi kan? Hal ini membuat saya berpikir kalau saya harus hati-hati banget kalau berbicara dengan anak kecil. Termasuk kepada keponakan saya yang saya rasa cukup cerdas utntuk menangkap hal baru. Kelihatannya sepele sih, ngomong sama anak kecil kok malah harus hati-hati. Tapi jangan salah, dengan kita bisa menepati janji, kita juga mengajari anak untuk bertanggung jawab dengan apa yang diucapkan. Selain itu, tentu saja kita sudah ‘menginvestasikan’ kepercayaan dan hubungan yang baik dengan anak itu. Iya nggak?
Kembali lagi ke masalah sunat-menyunat tadi. Untungnya, sampai saat ini sih saya masih percaya dengan orang tua dan kakak saya, karena saya sangat ingat kalau iming-iming mereka cukup smart buat saya yang mungkin dari kecil sudah ada bakat mata duitan. Waktu itu iming-imingnya adalah’ “nanti kalau sunat, dapet duit banyak dan bisa beli Play Station loh…”. waaah… demi mainan yang saya dambakan waktu itu, saya mau disunat. Dan bener banget, setelah bersakit-sakit dahulu, PS pun datang kemudian. Orang tua saya ternyata memang tidak bohong J tapi kalau sekarang, biar mau dapet duit, mau dapet rumah, mau dapet mobil, saya ogah ah, disunat lagi J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar